Sunday, May 8, 2016


(Sang Pendiri Tarekat Sammaniyah & Penjaga Makam Rasulullah Saw.)
Nama beliau adalah Ghauts az-Zaman al-Waliy Quthb al-Akwan asy-Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani keturunan Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Sayyidina Rasulullah Saw
Beliau adalah ulama besar dan wali agung berdarah Ahlul Bait Nabi beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Imam Asy’ari dalam bidang teologi atau aqidah, dan Imam asy-Syafi’i madzab fiqih furu’ ibadatnya, dan Imam Junaid al-Baghdadi dalam tasawufnya.
Beliau Ra. tinggal di Madinah menempati rumah yang pernah ditinggali Khalifah pertama, yakni Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. (seorang Shiddiq yang paling agung yang tiada bandingannya, kecuali para Anbiya wal Mursalin).
Guru mursyid beliau diantaranya adalah Sayyidina Syekh Musthafa Bakri, seorang wali agung dari Syiria, keturunan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Ra. dari pihak ayah, sedangkan dari pihak ibu keturunan Sayyidina Husein Sibthi Rasulullah Saw.
Pangkat kewalian beliau adalah seorang Pamungkas para wali, yakni Ghauts Zaman, dan wali Quthb al-Akwan, yakni kewalian yang hanya bisa dicapai oleh para sadah yang dalam tiap periode 200 tahun sekali. Dan beliau adalah Khalifah Rasulullah pada zamannya.
Beliau banyak memiliki karomah yang tidak bisa dihitung jumlahnya, bahkan sampai saat inipun karamah itu terus ada. Karamah agung beliau adalah pangkat kewaliannya yang begitu agung. Beliau mendapat haq memberi syafaat 70.000 umat manusia masuk syurga tanpa hisab.
Diantara murid-murid beliau dari Indonesia yaitu:
1.      Quthb az-Zaman Syekh muhammad Arsyad al-Banjari
2.      Quthb al-Maktum Syekh Abul Abbas Ahmad at-Tijani (pendiri tarekat Tijani)
3.      Al-Quthb Syekh Abdussamad al-Palimbani
4.      Al-Quthb Syekh Abdul Wahab Bugis (menantu Syekh Arsyad al-Banjari)
5.      Al-Qutb Syekh Abdurrahman al-Batawi (kakek Mufti betawi dari pihak ibu Habib Utsman Betawi)
6.      Al-Quthb Syekh Dawud al-Fathani, dan lain-lain.
Dan diantara keagungan dan kemuliaan beliau yang amat banyak diantaranya adalah; semua murid beliau yang jumlahnya ribuan menempati maqam Quthb. Beliau menempati kemuliaan karena beliau berada pada jalan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah.
Demikian lah kesuksesan Syekh Samman dalam mendidik ruhani murid-muridnya sehingga mereka yang berjumlah ribuan menempati maqam Quthb, apatah lagi Rasulullah Saw. dengan para murid-muridnya yakni para sahabat, tentu maqam kewaliannya sangat agung, karena mereka mendapat keistimewaan menyertai kekasihNya (Muhammad Saw.), dan apa-apa yang menjadi Nubuwat Rasulullah Saw. dalam kitab-kitab terdahulu, maka pasti menceritakan dan memuji para Qudus agung yang menyertai kekasihNya, yakni para sahabat Rasulullah Saw.
Al-Quthb al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata: “Serendah-rendahnya martabat sahabat maka tidak akan bisa dicapai walau oleh 70 Imam Junaid al-Baghdadi”. Padahal Imam Junaid hidup pada zaman salaf dan menempati Sulthon al-Auliya pada zamannya.
Karena para sahabat ini adalah para wali agung, maka para ahli tasawwuf (Aswaja) sangat sopan dengan mereka, tidak menceritakan mereka kecuali kebaikan. Sehingga wajib hukumnya berprasangka baik dengan para Auliya. Lebih-lebih lagi para sahabat yang notabene adalah hasil didikan langsung Rasulullah Saw. yang menempati Shiddiq dalam kewalian.
Maka dari itu, ummat Islam Aswaja tidak akan membicarakan panjang lebar tentang pertikaian antar sahabat, baik itu antara Sayyidah Aisyah dengan Sayyidina Ali Kw, pada perang Jamal, maupun antara Sayyidina Ali Kw. pada satu pihak dengan Sayyidina Muawiyah Ra. pada pihak lain.
Kita kaum Aswaja tidak akan mengotori mulut kita dengan umpatan dan negatif thinking kepada mereka. Bahkan Khalifah Ali Kw. mengatakan seterunya saat itu bahwa antara beliau dengan Sayyidina Muawiyah adalah saudara seiman dan satu kalimat, hanya saja khilaf dalam penyelesaian pembunuhan Khalifah Utsman Ra. Bahkan beliau Kw. menyolatkan semua korban perang baik yang di pihak beliau maupun pihak Gubernur Damaskus saat itu.


Syekh Samman Al-Madani Al-Hasani (Pendiri Tarekat Sammaniyah)

Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadits, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah Swt. yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu diantaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Diantara karya-karya tulis beliau adalah; Mujamu al-Masyayikh, Tazyil at-Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Kemuliaan Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik dari kitab Manaqib Syaikh al-Waliy asy-Syahir Muhammad Samman maupun Hikayat Syekh Muhammad Samman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman. Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa.
“Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus," kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib, diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datanglah Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang membawakan pakaian jubah putih dan berkata: "Ini pakaian yang cocok untukmu." Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan  jubah putih yang dibawanya itu.
Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah Saw. untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.


Wasiat Syekh Samman Al-Madani Al-Hasani (Penjaga Makam Rasulullah Saw.)

Diantara wasiat yang diberikan Syekh Samman al-Madani adalah, berkata al-Imam al-Quthb al-Ghauts az-Zaman al-Waliy al-Quthb al-Akwan asy-Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani:
•         "Tidaklah aku diangkat Allah Swt. menjadi al-Waly al-Quthb al-Ghauts dan Quthb al-Akwan melainkan aku selalu rutin membaca doa; Allahummaghfir li-ummati sayyidina  Muhammad. Allahummarham li-ummati sayyidinina Muhammad. Allahummastur li-ummati sayyidina Muhammad. Allahummajbur  li-ummati sayyidina Muhammad Saw. 4X berturut-turut setelah selesai sholat Shubuh sebelum berkata-kata urusan dunia  dan dia istiqamah membacanya maka ia menempati martabat fadhilah Quthub.”
Maksud beliau memberikan amalan ini ialah agar kita selalu bersatu sesama ummat islam dan sebagai ummatnya Rasulullah Saw. janganlah ada iri dengki dan buruk sangka terhadap sesama sekalipun seseorang itu kelihatannya hina. Jadi membaca doa ini setelah sholat Shubuh dengan niatan mudah-mudahan semua ummat Rasulullah Saw. diampuni Allah Swt. Atas segala dosa, dimudahkan Allah Swt. tuk mengamalkannya dan dengan harapan semoga hati kita dibersihkan dari segala penyakit hati seperti riya, ujub, takabbur, sombong, iri, dengki, hasud, berperasangka buruk dan sifat-sifat buruk lainnya.
•    “Barangsiapa mengambil thariqah kepadaku dan mengamalkannya niscaya pasti ia akan mendapatkan rasa majdzub di dalam dunia (diambil oleh Allah Swt. aqalnya yang Basyariyyah diganti dengan aqal yang bersifat Rabbaniyah) yakni diambil oleh Allah akan rasa punya wujud dan sifat dan af’al diganti dengan rasa ‘adam mahdhah adam semata” yakni tiada punya wujud, sifat dan af’al melainkan hanya Allah Swt. yang punya wujud hakiki, minimal di saat sakaratul maut.”
•    “Perkataan aku ini seperti perkataan Sayyidi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Barangsiapa yang menyerukan aku “Ya Samman” 3 kali ketika mendapat kesusahan, niscaya aku akan datang menolongnya.”
Syekh Samman al-Madani meninggal dunia pada hari Rabu 2 Dzulhijjah tahun 1189 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ bersandingan dengan maqam  para Istri Rasulullah. Para ualam mengatakan bahwa barangsiapa yang melazimkan membaca Manaqib Sayyidi Syekh Samman (Ratib Samman) berjamaah dengan orang banyak dan membaca al-Qur’an serta bertahlil kemudian bersedekah semampunya dan pahalanya dihadiahkan kepada Sayyidi Syekh Samman, niscaya ia akan dimudahkan rizqinya oleh Allah Swt.

Disarikan dari berbagai sumber.

Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 09 Muharram 1434 H
http://biografiulamahabaib.blogspot.co.id/2012/11/manaqib-syekh-samman-al-madani-al-hasani.html

SYEIKH ABDUS SAMAD AL-FALIMBANI
Syeikh Abdus Shamad Al-Falimbani ulama sufi penegak jihad
Koleksi tulisan Allahyarham WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
Bahagian (1)

Sejarah mengenai Syeikh Abdus Shamad ini terlalu banyak panjang untuk dibincangkan, sama ada mengenai asal-usul beliau, pendidikan, karya-karya, keturunan dan sebagainya.
Oleh itu, artikel ini merupakan bahagian pertama yang hanya meliputi pengenalan awal mengenai nama ayah dan pendidikan beliau sahaja. Selebihnya akan dibincangkan pada bahagian selanjutnya.
Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, pertama kali penulis perkenalkan dalam majalah Dian bilangan 100, Ogos 1977. Sumber awal yang dibicarakan sebahagian besar adalah berdasarkan cerita yang mutawatir yang didengar di Kepulauan Riau, Patani dan Kalimantan Barat. Yang bersumberkan bahan bertulis hanyalah berdasarkan berbagai-bagai edisi cetakan karyanya, maupun manuskrip simpanan penulis yang dipusakai dari Syeikh Ahmad al-Fathani.
Bahan itulah sebagai dasar utama penulis melakukan penyelidikan sehingga tulisan penulis dimuat dalam majalah Dian itu.
Terdapat banyak kisah yang ditulis oleh sarjana tempatan dan luar negeri tentang ulama yang berasal dari Palembang, Sumatera ini. Antaranya artikel penulis dalam majalah Dian tersebut, Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah karya Muhammad Hassan bin Dato’ Kerani Muhammad Arsyad (Dewan Bahasa dan Pustaka,1968), Syamsuddin bin Siddiq yang membuat tesis tentang Hidayatus Salikin, dan Dr. Mahmud Saedon bin Awang Othman dalam kertas kerjanya untuk Seminar Sufi Peringkat Kebangsaan.
Malahan penulis sendiri menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani,Shufi Syahid fi Sabilillah (1983).Setelah itu menyusul pula buku Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Shamad al-Palimbani oleh Dr.M.Chatib Quzwan(1985). Dan berbagai-bagai buku lain, terakhir sekali buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII oleh Dr. Azyumardi Azra, tahun 1994.
Bagi penulis keseluruhan buku mengenai Syeikh Abdus Shamad yang diproses oleh para sarjana itu tidak banyak diperoleh bahan baru, kerana apa yang mereka bicarakan hanyalah berdasarkan tulisan yang telah ada dan tidak menemukan karya-karya Syeikh Abdus Shamad yang belum dibicarakan selama ini.
Menurut penelitian penulis, ada yang dibicarakan juga banyak bersimpangsiur dan terdapat banyak kekeliruan. Oleh itu penulis muncul kembali dengan buku Syeikh Abdus Shamad Palembang Ulama Shufi Dan Jihad Dunia Melayu terbitan pertama Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1996. Dalam buku tersebut di beberapa halaman adalah sanggahan dengan tujuan untuk perbandingan, demi lebih meluruskan jalan sejarah yang sebenarnya.
Mengenali nama ayahnya
Terdapat banyak percanggahan berkenaan nama ayah kepada ulama ini. Pada penyelidikan awal, penulis menemui nama orang tua Syeikh Abdus Shamad Falimbani itu adalah Syeikh Abdul Jalil al-Mahdani dan Faqih Husein al-Falimbani. Maka dalam penyelidikan selanjutnya, penulis jumpai pula nama ayahnya selain Syeikh Abdul Jalil al-Mahdani dan Faqih Husein al-Falimbani itu. Nama-nama lain itu ialah: Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani. Maklumat ini pertama sekali penulis jumpai hanya pada Hidayatus Salikin terbitan Al-Ahmadiah Press, Singapura, tanpa menyebut tahun cetakan, berdasarkan satu naskhah yang dijumpai di Banjar.
Pada cetakan itu pentashhihnya juga disebutkan ialah Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani sebagaimana cetakan-cetakan lainnya. Sedangkan Hidayatus Salikin terbitan lainnya tidak menyebut nama orang tua Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani itu. Hal ini bersamaan pula dengan manuskrip salin semula judul Zahratul Murid yang terdapat di Pusat Islam Malaysia. Manuskrip Zahratul Murid yang ada dalam simpanan penulis juga menyebut nama orang tuanya Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani.
Tetapi dalam karya beliau judul yang sama, salinan Hj. Muhammad Husein bin Abdul Latif (Tok Kelaba al-Fathani) menyebut bahawa nama orang tua Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani ialah Syeikh Abdullah al-Jawi al-Falimbani, tidak Abdur Rahman al-Falimbani al-Jawi dan tidak pula dua nama yang terdahulu (Faqih Husein al-Falimbani dan Syeikh Abdul Jalil al-Mahdani).
Manuskrip Zahratul Murid yang tersimpan di Muzium Nasional Jakarta, nampaknya serupa dengan salinan Tok Kelaba al-Fathani, iaitu orang tuanya bernama Abdullah al-Jawi al-Falimbani.
Nama ayah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dinyatakan ialah Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani, juga tersebut pada cover cetakan kitab itu oleh Matba’ah at-Taraqqil Majidiyah al-‘Itsmaniyah, Mekah, tahun 1331 H/1912 M, ditashhih oleh Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani, iaitu murid kepercayaan Syeikh Ahmad al-Fathani. Dipercayai ada cetakan yang lebih awal dari cetakan ini yang diusahakan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani yang dicetak oleh Matba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah dalam tahun 1300 H/1882 M.
Juga nama ayahnya Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani tersebut pada mukadimah risalah Ilmu Tasauf, manuskrip koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia. Nama Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani juga disebut pada banyak halaman dalam karya Syeikh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani (Padang) berjudul Al-‘Iqdul Farid min Jawahiril Asanid dan Balughul Amani.
Nama ayah Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani adalah Syeikh Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani, dari sumber Melayu sendiri selain sumber-sumber yang penulis sebutkan di atas. Juga disebut oleh salah seorang murid beliau bernama Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, dalam salah sebuah salinan karya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Tokoh tersebut sangat banyak membuat salinan pelbagai judul manuskrip.
Berbeza
Susur galur keturunan Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani sampai saat ini baru dijumpai dua sumber yang agak lengkap walaupun antara kedua- duanya sangat berbeza. Kedua-dua sumber itu ialah: Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah, yang mengemukakan bahawa Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani bin Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh 'Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad al-Mahdani.
Dalam Bulughul Maram karya Syeikh Muhammad Yasin Padang pula dijumpai bahawa Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani bin Abdur Rahman bin Abdullah bin Ahmad al-Falimbani. Namun pada beberapa halaman lain oleh pengarang dalam buku yang sama dinyatakan: Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman bin Abdul Jalil al-Falimbani. Penulis tidak dapat mengesan dengan pasti apa sebab persoalan ini boleh berlaku, nama ayahnya berbeda-beda dan nama-nama ayah ke ayah pula terjadi demikian seperti yang telah disalinkan di atas.
Nama yang digunakan di makam yang terletak di Tanjung Pauh, Jitra, Daerah Kubang Pasu, Kedah ialah Syeikh Abdul Jalil, bukan nama yang lainnya. Sungguh pun di makamnya memakai nama Syeikh Abdul Jalil, namun jika diperhatikan dengan perbandingan ternyata jumlah maklumat yang menyebut nama ayah beliau Abdur Rahman al-Jawi al-Falimbani lebih banyak dari nama-nama lain seperti yang disebutkan di atas.
Selama ini semua penulis hanya mengenal bahawa di hujung nama Syeikh Abdus Shamad biasa ditambah dengan perkataan ‘al-Falimbani’, iaitu yang dinisbahkan/dibangsakan bahawa beliau berasal dari Palembang. Akan tetapi dalam sebuah manuskrip al-‘Urwatul Wutsqa karya beliau, ternyata beliau menyebut di hujung namanya dengan ‘al-Fathani’.
Pada beberapa halaman al-‘Iqdul Farid, Syeikh Yasin Padang menyebut di hujung nama beliau dengan ‘al-Asyi asy-Syahir bil Falimbani’, yang maksudnya bahawa dinisbahkan/dibangsakan berasal dari Aceh yang masyhur berasal dari Palembang.
Pendidikan
Syeikh Abdus Shamad mendapat pendidikan asas dari ayahnya sendiri, Syeikh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok secara yang lebih mendalam lagi.
Mungkin Abdus Shamad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada dalam simpanan penulis. Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.
Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafie. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut faham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.
Setelah Syeikh Abdus Shamad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syeikh Abdus Shamad telah dipandang alim, kerana beliau adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.
Keturunan
Mengenai pengajiannya di Mekah dan Madinah sumber yang paling pertama diketahui ialah tulisan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq, keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, ditulisnya dalam Syajaratul Arsyadiyah. Menurut beliau, bahawa Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, belajar di Mekah sekitar 30 tahun dan di Madinah 5 tahun bersama kawan-kawannya. Mereka ialah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari penyusun kitab Sabilul Muhtadin yang terkenal, Syeikh Abdul Wahab Pang-kajene (Sidenreng Daeng Bunga Wardiah) Bugis, Syeikh Abdur Rahman al-Masri, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Muhammad Ali Aceh, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan ramai lagi.
Sahabat-sahabat Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani sewaktu melanjutkan pelajaran di Mekah selain yang tersebut itu sangat ramai, di antara nama mereka telah penulis sebut dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin. Mengenai para gurunya di Mekah, selain yang diketahui umum, dalam sebuah manuskrip disebutkan bahawa Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pernah belajar daripada Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh di Mekah. Para ulama besar yang pernah mendidik Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani selama berada di Mekah dan Madinah selain yang tersebut dapat dirujuk kepada buku penulis Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari ... tersebut di atas, lihat hlm. 14-15, sanad-sanadnya dari hlm. 16 sampai 27. Namun masih ada beberapa guru Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani yang berasal dari Palembang dan sanad beberapa ilmu yang tidak tersebut dalam buku penulis itu. Hal ini kerana ada beberapa ilmu yang mereka tidak belajar secara bersama-sama.
Menurut Syeikh Yasin Padang dalam beberapa bukunya yang telah disebutkan, bahawa hampir semua ilmu nampaknya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani menerima dari al-Mu’ammar Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani. Ulama yang berasal dari Palembang ini tinggal di Madinah. Beliau berguru dengan ramai ulama, namun di antara gurunya termasuklah ayah saudaranya bernama Thaiyib bin Ja'far al-Falimbani. Thaiyib bin Ja’far belajar dengan ayahnya Muhammad bin Badruddin al-Falimbani.
Tulisan Syeikh Yasin Padang yang mengatakan Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani belajar dengan Syeikh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani itu bertentangan dengan tulisan Syeikh Muhammad Azhari ibnu Abdullah al-Jawi al-Falimbani. Kenyataan ulama ini ialah, “... telah mengambil talqin zikir ini oleh faqir Muhammad Azhari ibnu Abdillah al-Falimbani. [Ia] mengambil daripada asy-Syeikh Abdullah bin Ma’ruf al-Falimbani, [Ia] mengambil daripada asy-Syeikh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, [Ia] mengambil daripda asy-Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani ...”.
Jika kita berpegang kepada Syeikh Yasin Padang bererti Syeikh Abdus Shamad adalah murid Syeikh Muhammad Aqib. Sebaliknya jika kita berpegang kepada Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah bin Muhammad Asyiquddin bin Safiyuddin Abdullah al-Alawi al-Husaini al-Falimbani, bererti Syeikh Abdus Shamad adalah guru kepada Syeikh Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani.
Bersambung…
Mengenal Syeikh Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani dan Ajaran Suluknya (Bagian Pertama)
A+ A-
Print Email

Membaca sejarah orang-orang shaleh yang sudah mendahului kita sangatlah dianjurkan apalagi ulama-ulama    shaleh yang terkenal sebagai  penegak  kalimah Laa ILaha ILallah  agar  dapat  diambil hikmahnya guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Di dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97:

وَقَدْ وَرَدَ فِي اْلَاثَرِ عَنْ سَيِِّدِ الْبَشَرِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قاَلَ :مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناَ فَكَأَنمَّاَ اَحْياَهُ وَمَنْ قَرَأَ تاَرِيْخَهُ فَكَأَنمَّاَ زَارَهُ فَقَدْ اسْتًوْجَبَ رِضْوَانَ اللهِ فيِ حُزُوْرِ الْجَنَّةِ.

Tersebut dalam surat atsar: Rasulullah S.A.W. pernah bersabda: Siapa membuat/membaca sejarah orang mukmin ( yang sholeh dan sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang  mengunjunginya, Allah akan memberikan surga.
Kesempatan kali ini riwayat yang ditulis adalah mengenai salah seorang ulama nusantara  yakni Syeikh Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani.

RIWAYAT HIDUP AL-PALIMBANI

Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani adalah orang Indonesia yang  berasal dari Palembang. Ia adalah putra Syekh Abd Jalil bin Syekh Abd al-Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani dari Yaman yang diangkat
menjadi mufti negeri Kedah, dengan istrinya Raden Ranti dari Palembang. Sebelum ia kawin di Palembang, Syekh Abd Jalil telah kawin di Kedah, dan dari perkawinan tersebut ia mendapat dua orang putra yaitu Wan Abd al-Qadir dan Wan Abdullah.  Tetapi Abd al-Samad lebih tua dari kedua saudara seayahnya, karena keduanya lahir setelah Syekh Abd al-Jalil  pulang tiga tahun setelah kepergiannya ke Palembang, di mana ia kawin lagi dan mendapat seorang  putra yang bernama Abd Samad. Selanjutnya Abd Samad dan saudaranya Wan Abd al-Qadir diantar ke Mekkah, sehingga akhirnya ia dikenal dengan sebutan Syekh Abd Samad al-Palimbani, dan saudaranya tersebut diangkat menjadi mufti negeri Kedah, menggantikan ayahnya. (Chatib Quzwain, 9)

Penobatan Sultan Kedah terjadi pada tahun 1112 H/1700 M. Tidak lama kemudian, Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti dan dikawinkan dengan Wan Zainab, putri  Dato Sri Maharaja Dewa. Tidak berapa lama setelah perkawinan itu mereka melahirkan anak, Syekh Abd al-Jalil dijemput oleh utusan dari Palembang untuk berkunjung ke sana melepaskan rindu kepada murid-muridnya yang sudah sangat lama ditinggalkan. 
Berdasarkan keterangan ini, al-Palimbani lahir di Palembang sekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/1700 M. Menurut catatan yang terdapat dalam kitab Sair al-Salikin, kitab tersebut mulai ditulisnya pada tahun 1193 H/1779 M. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3). 

Menurut Yusuf Halidi, al-Palimbani menuntut ilmu di Mekkah bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abdul Rahman Masri dari Jakarta, “empat serangkai” yang kemudian sama-sama belajar  thariqat di Madinah kepada Syeikh Muhammad  al-Samman, dan akhirnya mereka bersama-sama pula pulang ke daerah mereka masing-masing di Indonesia. (Yusuf Halidi, 1980 : 33) 


Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin, ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan (mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan (muntahi) saja. 

Al-Palimbani mengambil Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-Samman di Madinah,  yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Sammaniyah. Dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalam Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.  Mengenai karya tulis Al-Palimbani, ada beberapa kitab seperti yang penulis kutip dari Chatib Quzwain diantaranya
(1)  Hidayat alSalikin,
(2) Sair al-Salikin,  yang secara berurutan merupakan terjemahan dari  Bidayat al-Hidayat  dan  Lubab Ihya’ Ulum al-Din  – Karangan AlGhazali,
(3) Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid,
(4) Nasihat alMuslimin wa Tazdkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah, (6), Al-‘Urwat al-Wutqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa,
(7) Ratib Abd al-Samad alPalimbani (Chatib Quzwain, 22 – 30).

Pokok-pokok Ajaran Suluk al-Palimbani

a. Taubat

Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan ini. Menurut dia  taubat  merupakan jalan bagi orang yang  salik yang menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada  makrifah  Allah. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3) di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat  yakni “Suatu makna yang bersusun daripada tiga perkara :  ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”. 
Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang melakukan perbuatan dosa.  Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan tiga hal :
- Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia”. - Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan  Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat”. - Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat” nanti. (Al-Palimbani, Jilid IV : 7 – 8).  Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan :
- Pertama, taubat orang  awam;
- Kedua, taubat orang  khawash;
- Ketiga, taubat orang  khawash al khawash.
Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri dan sebagainya;
Taubat yang kedua yakni orang  khawash taubat dari “maksiat batin” seperti ujub, ria, takabur, hasad  dan sebagainya;
sedangkan orang  khawash al khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan  dzikrullah  (ingat kepada Allah) di dalam hati dan  syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Taala. 
Tingkat taubat yang ketiga  ini, nampaknya bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al khawas,  yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak  makrifah yang berada di ujung jalan orang sufi,  yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan panjang.

Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik  hanya meliputi taubat orang awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan diri dari “maksiat  lahir” dan “maksiat  batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang  salik berada pada  maqam zuhud.
Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai  berikut :
1. Banyak makan
2. Banyak berkata-kata,
3. Pemarah,
4. Dengki,
5. Kikir dan cinta harta
6. Cinta kemegahan dan kebesaran
7. Cinta dunia,
8. Tinggi hati,
9. Uzub,
10. Ria
 Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :
1. Menyekutukan Allah,
2. Mengekalkan berbuat maksiat,
3. Putus asa dari rahmat Allah,
4. Tidak takut siksa Allah.
 Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai  maqam zuhud; tetapi sebelum sampai ke sana ia harus melewati  maqam takut dan harap,  yang erat hubungannya dengan kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.
             
b. Takut dan Harap
 Pada tahap tertentu,  takut dan  harap sangat dominan dalam diri seorang  salik sehingga merupakan  maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana  halnya dengan maqamat
yang lain,  takut dan  harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan  maqam  bagi seorang salik apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau  hanya dirasakan pada saat-saat tertentu saja, hal itu termasuk ahwal.    Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada
yang lain, bahkan melahirkan suatu  kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-tiap sesuatu”. Lebih penting lagi,
rasa takut kepada Allah akan  membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan  mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada  Allah Taala;  semuanya itu membawa kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan
mulia di dunia dan di akhirat melainkan makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain,  takut kepada Allah adalah suatu  maqam yang melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah.
 Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai perasaan seorang  salik sehingga ia memiliki  maqam harap (raja’). Tetapi dua  maqam  ini menurut AlPalimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf (takut) dan  raja’ (harap) menurutnya  seperti roti dan air; jikalau sangat
dahaga, maka air lebih afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka  raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan.
 Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa  harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut, demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW : “Jangan mati seseorang  melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan  harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian,
harap  kepada Allah itu adalah suatu  maqam yang lebih tinggi dari pada  pada  maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada  maqam cinta (mahabbah). Sebagaimana halnya  maqam takut,  maqam harap  ini pun dianggap lahir dari  ilmu.
Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat  yang diberikan oleh Allah Taala” yang tidak terhingga banyaknya.
Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni  ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif,berada di  maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai  maqam cinta  kepada Allah itu masih ada beberapa  maqam lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud.

(bersambung ke bagian Kedua)

(Ditulis ulang oleh: Dokumen Pemuda TQN Suryalaya News, sumber: http://digilib.sunan-ampel.ac.id, dari Tulisan Karya : Hasni Noor,S2  IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2004, Dosen Dpk pada Universitas Islam Kalimantan )
(dokumenpemudatqn.com)

0 comments:

Powered by Blogger.

Thank's To Follow

Total Pageviews

Popular Posts