Monday, April 25, 2016




Taqlid ada dua, taqlid pada Aqaa-id dan taqlid pada Fiqh.

Hukum taqlid pada ‘Aqaaid
Setelah ulama Mutakallimin (Ahli dalam ilmu Tauhid) memperhatikan :

a.    Ayat-ayat Allah yang mengandung anjuran untuk bernazhar dan berpikir mencari keterangan tentang wujud Tuhan dan kekuasaa-Nya
b.    Hadist Rasulullah SAW yang mengenai dengan berpikir pada kejadian alam.
c.    Undang-undang atau qa’idah Usul Fiqh

Maka Quthubul Maghrib, Ali Imam Abu Bakar, Ibnul Arabiy menyatakan pendapatnya, “Bahwa taqlid itu hukumnya haram.” Tidak sampai disitu saja bahkan iman seseorang yang lainnya dari taqlid hukumnya tidak sah. Jadi, jika imannya tidak sah termasuklah ia ke dalam gologan orang yang tidak beriman. Orang yang tidak beriman hukumnya tetap di dalam siksa…Na’uzubillahi min zalik. Demikian ibnul ‘Arabiy.

Al Ustaz Abu Ishaq menyatakan pendapatnya :
Orang yang telah memiliki iman yang teguh tidak mungkin lagi diganggu-gugat sekalipun imannya itu hasil dari pada taqlid maka imannya sah. Akan tetapi, ia berdosa lantaran ia tidak berusaha mencari dalil untuk benteng bagi pertahanan keimanannya. Akhirnya ia disiksa juga lantaran bertaqlid tetapi siksa ini tidak kekal lantaran imannya sudah dihukum sah.

Perintah bernazhar atau berpikir untuk mecari dalil bagi ketahanan keimanan seseorang yang diwajibkan hanya atas manusia yang berkesanggupan justru cukup alat-alat yang dimilikinya.
Maka kepada manusia yang tidak mampu oleh karena kelemahan syaratnya atau tidak kuat ingatannya, diwajibkan atasnya beriman akan yang haq, biarlah dengan taqlid saja. Orang ini boleh diuji kelemahannya : kita ajarkan kepadanya

2 x 2    = 4 hafal ia luar kepala.

besok kita tambah lagi

    3 x 2    = 6 dia hafal  dengan baik.

Maka kita tanya kembali…2 x 2 = berapa? Lalu ia menjawab, “tidak tahu lagi.”

Nah…orang ini, bebas nazhar dan boleh bertaqlid tidak berdosa dan sah imannya (lihat Ummul Barahin halaman 57-62)



Dan ketahuilah ! Tidak boleh tidak (diwajibkan) atas tiap-tiap mukallaf yang bukan mujtahid menetapkan dirinya bertaqlid bagi mazhab yang tertentu (pada amalnya) kepada mazhab mana yang dipilihnya sendiri dari ayat-ayat Allah dan dari hadist-hadist nabi karena Firman Allah :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ
dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). (Annisa’ 83)

    Jadi, yang tidak dibenarkan taqlid kepada pendapat orang yang lain jika ia seorang yang mujtahid (sanggup mengeluarkan hukum-hukum agama dari dua sumbernya yaitu kitabullah dan sunnah rasul-Nya). Akan tetapi, jika ia bukan seorang yang mujtahid maka tetap wajib atas dirinya untuk bertaqlid kepada ulama-ulama yang mujtahid.
    Soal masalah mujtahid dan taqlid ini telah dibahas secara luas oleh Al’allamah Al fadhil Al Murabbiy Al Kamil, As Syid ‘Aluwiy bin Ahmad As Saqaaf dalam kitabnya majmu’ah Sab’ataul kutub halaman 48 dan 49


ULAMA MUJTAHID

Seseorang baru dapat disebut sebagai Mujtahid Muthlaq bila ia sudah memiliki beberapa syarat yang tersebut dibawah ini :

1.    Mengetahui bahasa Arab secara mendalam
2.    Mengetahui dan mahir memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist Rasul
3.    Mengetahui dengan isi Al-Quran 30 juz
4.    Mengetahui sebab-sebab nuzul Qur’an
5.    Mengetahui hadist-hadist dan segala macam yang berhubungan dengan hadist
6.    Mengetahui dan sanggup memahami semua masalah yang menjadi khilafah diantara mereka

(lihat kitab Empat serangkai Iman Mazhab karangan H. Munawar Khalil. Kitab Mazhab Asy Syafi’iy karangan Sirajuddin Abbas dan kitab Al Qawaninul Islamiyah karangan Asy Syikh H. Amin bin Muhammad Hasan Al Asyiy). Masing-masing kitab ini sengaja tidak kami catat nomornya karena hampir seluruh kitab tersebut membicarakan masalah yang sama. Supaya tidak menganggap enteng masaalah agama ini.

Memperhatikan syarat-syarat mujtahid tersebut diatas, terasa benarlah dalam diri seseorang bahwa mujtajid itu bukan soal yang mudah semudah yang kita ucapkan. Kalau boleh dikatakan, mujtahid yang demikian hampir mustahil kita peroleh lagi pada  zaman yang penuh dengan pengaruh duniawi seperti zaman kita sekarang ini. Mujtahid dibagi kepada empat bagian:
1.    Mujtahid Muthlaq
2.    Mujtahid Madzhab
3.    Mujtahit Fatwa
4.    Mujtahit Tarjih

Wallahu a’lam

0 comments:

Powered by Blogger.

Thank's To Follow

Total Pageviews

Popular Posts